kata usang

Tulisan belum berjudul

            Hujan di akhir tahun 2018, tepatnya 25 Desember ini, terus menunjukkan dirinya di sepanjang pagi, siang, sore, maupun malam, tak peduli kesibukan orang-orang di muka bumi ini, ia tetap turun, membumi basahkan seluruh komponen yang ada terkecuali yang berhasil berlindung dari dirinya maka tidak akan terkena meski setetes pun itu. Malam ini  pun ia datang, sekarang waktu menunjukkan pukul 18.55 yang artinya kurang 5 menit lagi akan tepat pukul 19.00, masih sore untuk dibilang malam, tapi langit sudah petang untuk dibilang masih sore, ah lucunya, tidak ada yang perlu didebatkan perihal itu sebenarnya, ya ini hanya siasat untuk memperpanjang cerita saja, haha. Kembali ke bahasan awal, saat ini hujan turun, bukan dengan rintik-rintik manis, melainkan turun dengan begitu deras, aku pikir hujannya turun deras sederas rinduku pada seseorang, ah ngawurnya diriku, apa hubungannya hujan dengan perasaan, padahal tidak ada tapi terus dikaitkan, ya kesalahan orang-orang yang menganggap bahwa hujan turun menyesuaikan perasaan mereka, apalagi jika sedang sedih kemudian secara bersamaan hujannya turun maka kebanyakan akan mengaitkan dan mengatakan bahwa hujan turun bersama air mata akibat nostalgia, bersama siapa? Bersama mantan! Hahaha. Padahal jelas tidak ada hubungannya, hujan turun atas kehendak-Nya bukan atas perasaan makhluk-Nya. Kali ini aku bukan sedang mengaitkan dan membuat hubungan antara hujan dan perasaanku, tapi memang saat ini seperti merindukan sesuatu, merindukan salah satu makhluk ciptaan-Nya, entah perasaan rindu atau apa aku juga tidak tau pasti bagaimananya, ingin bertemu hanya sekadar melihatnya melepas tawa bersama. Klise memang, tapi itu yang aku rasakan sekarang. Katanya rindu itu curang, selalu bertambah tanpa tau rasanya berkurang. Rindu itu tidak sopan, datang tanpa permisi, pergi tanpa pamit. Ah iya sepertinya ungkapan tersebut memang benar. Tapi untuk rindu kepada makhluk-Nya bukankah tidak boleh berlebihan melebihi rindu pada-Nya, jadi rindu ini hanya sebatas rindu saja, rindu secara diam yang hanya mampu kuutarakan kusmpaikan dalam bait-bait doa, tersajak rapi dalam untaian kata. Mata tertuju pada layar handphone yang ku setting untuk redup setiap 5 detik sekali, ada satu buah foto yang memang ku simpan khusus di sudut galeri, itu foto dia yang aku dapatkan dari ketidaksengajaan kala itu. Begitu caraku merindu, disampaikan lewat doa dan melihat satu fotonya, itu sudah cukup untuk mereda perasaan yang tiba-tiba muncul seperti saat ini.
            Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari semuanya, toh di tahun depan masih ada kesempatan untuk bertemu (kalau dipertemukan sih). Memang aku berpikir aku terlalu melebihkan perasaan sendiri sampai dideskripsikan seperti ini, tapi jika dari sebuah perasaan kita bisa menulis membuat perasaan tersebut lebih hidup, kenapa enggak? Daripada hanya merenungi perasaan menunggu sampai si hujan reda sereda mungkin tanpa melakukan apa-apa, lebih baik seperti ini kan? Haha, katanya menulis hanya untuk orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan, yang hidupnya terlalu di dramatiskan. Kalau kataku sendiri menulis untuk mengisi kekosongan. Setiap orang bebas menyalurkan ekspresinya, selagi itu menghasilkan hasil yang positif.
            Ah, terlalu banyak basa-basinya, maafkan. Setiap merindukan pasti ada keinginan, setiap doa pasti ada harapan. Lah trus apa hubungannya? Hubungin aja sendiri deh, hehe.



Bersambung....

Komentar

Postingan Populer